Legenda menyebutkan, terbentuknya danau ini erat kaitannya dengan kisah seekor siluman ular besar yang bernama Baruklinthing. Namun, aku tidak akan menceritakan kisah legenda ini karena sudah banyak dibahas di milis-milis sebelah, kecuali kalau teman-teman pembaca blog ini meminta aku untuk menceritakan kembali kisah Baruklinthing tersebut.
Kembali ke danau Rawa Pening, dari danau ini mengalir sebuah sungai besar yang dibendung oleh pemerintah untuk PLTA. Sungai ini mempunyai 3 jembatan, yang pertama adalah jembatan rel KA peninggalan Belanda Ambarawa - Tuntang yang terletak di hulu sungai, jembatan utama yang dilewati jalan raya Solo - Semarang (jembatan utama ini terdiri dari 2 jembatan, jembatan menuju Semarang dengan konstruksi baru dan jembatan arah solo yang merupakan peninggalan jaman kolonial), dan yang ketiga adalah jembatan kecil yang terletak diantara jembatan utama dengan bendungan.
Penduduk sekitar sering menyebut sungai ini sebagai sungai Tuntang karena membelah desa Tuntang. Sedangkan di peta, teman-teman akan mengenalinya sebagai sungai Demak (cmiiw). Masyarakat sekitar danau percaya bahwa danau dan sungai ini merupakan bagian dari kerajaan lelembut yang terdiri dari 3 kerajaan besar. Kerajaan pertama terletak di danau Rawa Pening itu sendiri yang mana merupakan pusat dari kerajaan lainnya. Kerajaan kedua terletak diantara jembatan rel kereta hingga jembatan utama, dan dari jembatan utama hingga bendungan merupakan kerajaan ketiga.
Kadang kala pada malam hari terdengar tabuh gamelan yang cukup keras bergema di sekitar danau dan sungai. Suara itu mirip suara tabuhan gamelan pewayangan, seakan-akan ada hajatan yang sedang digelar, padahal tidak ada penduduk desa yang sedang menggelar hajatan tersebut. Jika kita mencari sumber suara tersebut, suara tersebut seperti dari seberang sungai atau danau. Tetapi ketika kita menyeberang, sesampainya di seberang suara tersebut menjadi seolah-olah berasal dari tempat kita semula.
Suara tabuhan gamelan itu bagi kami merupakan pertanda, bahwa keesokan harinya pasti akan ada yang tenggelam. Entah berapa orang yang tenggelam di sana, tetapi mitos menyebutkan tidak ada orang asli Tuntang yang pernah menjadi korban. Memang sepanjang pengetahuan ku, belum ada orang asli Tuntang yang tenggelam dan meninggal di sana.
Pada tahun 1970-an, seorang sesepuh desa kami yang juga memiliki padepokan silat tenaga dalam dan pondok pesantren, sebut saja pak T (alm.), mendapat wangsit dari kakek penghuni kerajaan Rawa Pening berjenggot panjang. Dalam wangsit yang terus didapatnya selama tiga hari berturut-turut tersebut, kakek utusan kerajaan Rawa Pening meminta tumbal "pitik sak kandange" atau dalam bahasa Indonesia ialah ayam sekandangnya. Tentu saja Pak T bingung, apa yang dimaksud dengan ayam sekandang ini, bahkan ada yang mengaku melihat iring-iringan pasukan berkuda jaman kerajaan di jembatan utama.
Berdasarkan keterangan ibu ku yang pada waktu itu masih berumur 12 tahun, terdengar tabuhan gamelan yang sangat semarak, seolah-olah Rawa Pening akan mengadakan hajatan besar. Hingga sekitar tiga hari kemudian, ada dua orang penduduk desa Tuntang yang menaiki bus Palapa dari Semarang hendak turun di sekitar jembatan utama. Tetapi, sopir dan kernet menolak untuk menurunkan kedua penumpang itu disana karena tempat itu lokasinya tepat di tengah pertemuan dua turunan tajam (kalo anda pernah melalui jalan raya Solo Semarang, pasti melewati jalan ini. Jadi baik dari arah Solo maupun arah Semarang keduanya menurun tajam dan bertemu tepat di jembatan utama ini, seperti melewati lembah).
Pada waktu itu memang sudah umum terjadi bis-bis menolak untuk menurunkan penumpang di sana. Oleh sopir dan kernet bus palapa, dua orang ini diturunkan di daerah kebun kopi bernama Bawen. Salah seorang dari penumpang itu adalah kakek tua renta. Ketika hendak diturunkan di Bawen, kakek itu dengan marah dan lantang berteriak "dadi ngene ya carane? (jadi begini ya caranya?)". Kemudian terjadilah kecelakaan maut itu...
Ketika melewati jembatan utama Tuntang, bus Palapa ini tiba-tiba oleng kemudian masuk ke sungai. Terdengar suara benda berat jatuh ke air "SPLASH!!". Penduduk yang melihat berteriak sekencang-kencangnya memberitahu penduduk lain bahwa ada bus yang terjatuh ke sungai. Tiang-tiang listrik dipukul sekencang-kencangnya oleh para saksi mata, berharap agar penduduk yang lain segera keluar dan memberi pertolongan.
Beberapa orang melompat menceburkan diri, mencoba menolong para penumpang. Tapi apa daya, arus sungai terlampau kuat dan air terlampau keruh. Arus yang kuat membengkokkan badan bus sehingga pintu-pintu bus tidak dapat dibuka. Tak ada seorangpun penumpang yang berhasil diselamatkan pada hari itu. Ternyata, inilah yang dimaksud dengan "pitik sak kandange" dalam wangsit yang di terima oleh pak T. Dan malam itu Rawa Pening berpesta, suara gamelan terdengar hingga beberapa hari kemudian. Sejak saat itu, semua bis bersedia menurunkan penumpang di sekitar jembatan utama Tuntang.
Ada juga cerita versi lainnya. Silahkan di simak, keep reading ^^
Ibu Baru Klinting adalah seorang pertapa di Gedong Songo yg sedang mendoakan/memohon dewa agar kutukan terhadap dirinya yg menimpa anaknya (Baru Klinting) dapat di ampuni dan ditangani.
Baru Klinting atau "Joko" (nama panggilanya) lahir berbentuk ular yg diakibatkan oleh kutukan tsb.
Pada akhirnya setelah sekian tahun berlalu, Joko telah tumbuh menjadi seekor ular besar sambil menjaga Ibunya bertapa brata di Gedong Songo.
Sang Ibu mendapat wangsit dewa tentang bagaimana Joko dapat kembali berubah dalam bentuk manusia biasa. Sang Ibu tidak dapat memberitahukan Joko perihal ini secara langsung (seperti yg telah di wangsitkan dlm pertapaannya), kecuali apabila Joko bertanya kepadanya.
Suatu hari, Joko menghadap sang Ibu dengan hati yg gundah gulana dirundung risau dikarenakan ia telah menyadari perbedaan bentuk fisiknya terhadap Ibunya. Sang Ibu berusaha menjelaskan kepada Joko asal usulnya (bagaimana kutukan tersebut berkenaan dgn dirinya) dan menimpa Joko.
Sang Ibu kemudian menyadari bahwa, akhirnya ia dapat menerangkan wangsit yg didapatnya ttg perihal proses agar Joko dapat menjadi "Manusia" biasa seperti layaknya anak2 sebayanya. Dalam proses menjadi manusia, Joko harus bersedia bertapa brata dlm waktu yg tidak dpt dipastikan dalam hutan belantara yg lebat. Joko harus bersedia di temukan orang secara tidak sengaja dan dibunuh serta dagingnya di bagi2kan kepada semua orang yg menemukannya. Apabila proses ini telah selesai maka bagian2 tubuh ular yg tdk dibagikan akan berubah menjadi Joko dalam bentuk anak manusia. Sang Ibu juga menerangkan bahwa Joko tidak boleh sekali-kalinya menggunakan kesaktiannya utk menyakiti atau membawa musibah terhadap orang lain, atau ia akan berubah kembali dalam bentuk ular selamanya.
Joko merasa sedih menyadari bahwa dlm prosesnya menjadi manusia ia harus berpisah dgn Ibunya.
Setelah berpisah dgn Ibunya Joko menjalani semua persyaratan yg di dengar dari Ibunya. Setelah bertahun tahun lamanya bertapa di dalam hutan belantara, Joko akhirnya ditemukan oleh seorang pemotong kayu. Semua proses terjadi dengan cepat (spt yg diterangkan Ibu Joko kepadanya). Hingga suatu ketiaka sang pemotong kayu tersebut kemudian menemukan seorang anak kecil dalam rimbunan semak yg kemudian membawanya pulang dan merawatnya.
Menyadari dirinya telah berubah menjadi manusia, Joko memutuskan utk mencari Ibunya di Gedong Songo dan menghaturkan rasa terima kasih kepada sang pemotong kayu yg telah merawatnya itu.
Dalam perjalannya yg penuh derita, Joko menerima banyak caci maki, hinaan dan celaan bahkan siksaan fisik yg diarahkan orang2 terhadap dirinya dalam menemui Ibunya. Sampai akhirnya Ia pun mengalami penyakit kulit yg sangat meyiksanya, dimana seluruh bagian kulitnya penuh luka (koreng) mengelupas, mengeluarkan bau yg tdk sedap dan sangat menjijikkan (sungguh menyedihkan kondisi Joko/ Baru Klinting ini).
Suatu ketika sampailah Joko di suatu desa, dimana menurutnya adalah sebuah desa yg sangat makmur dan indah tetapi sangat disayangkan para penduduknya sangat sombong dan mementingkan dirinya sdri. Joko pun kembali berurusan dengan cacian, hinaan dsb-nya yg akhirnya ia pun di dera siksaan fisik dari anak2 sebayanya akibat rasa inginnya bermain bersama mereka.
Menahan rasa sakit akibat dipukuli dan dlm keadaan yg lemah karena tidak makan datanglah seorang nenek tua yg menolongnya dan merawatnya. Joko kembali sehat setelah sekian lama dirawat oleh sang nenek tua tersebut. Joko berterima kasih kepada sang nenek tua itu dan ia pun bermaksud utk kembali ke desa tempat dimana ia telah dipukuli. Setelah merasa cukup kuat setelah dirawat berhari-hari di rumah sang nenek tua yg telah merawatnya. Joko kemudian berpesan kepada sang nenek. Joko berpesan agar sang nenek agar segera masuk kedalam lesung (digunakan sbg perahu) dan membawa alu (digunakan sbg dayung) apabila mendengar bunyi suara gemuruh disertai suara2 kentongan dan teriakan orang2 sekitar.
Joko pun pergi meninggalkan sang nenek tua tsb menuju desa dimana ia pernah di aniaya dan kemudian mengadakan suatu lomba untuk semua kalangan usia, setelah terlebih dahulu memperkenalkan dirinya.
Ia kemudian memamerkan kekuatannya dengan menancapkan sebatang lidi yg disebutnya "Lidi Baru Klinting" dan mengumbar bahwa tidak ada seorangpun di desa itu yg dapat mencabut lidi itu selain dirinya sendiri. Joko menantang orang2 yg merasa kuat dan superior dalam segala hal termasuk kuat harta (orang kaya), orang yg merasa dirinya pintar, berstatus sosial tinggi, kuat fisik dan lain2nya.
Semua orang dari berbagai kalangan usia/status didesa itu pun kemudian mengikuti lomba itu karena menganggap "mencabut lidi" itu hanya hal kecil.
Banyak sudah yg gagal dlm berusaha mencabutnya termasuk orang2 yg pernah mencaci maki, menghina dan memukuli Joko hingga parah tempo hari.
Hingga.......
Tibalah akhirnya seluruh desa mengakui jikalau tidak ada diantara mereka yg dapat sanggup mencabutnya dan ingin melihat Joko utk melakukanya serta membuktikan sendiri kesaktiannya.
Hal ini disanggupi oleh Joko/Baru Klinting, kemudian ia mencabut lidi yg ditanamnya dan keluarlah air dari lubang bekas lidi itu. Airnya kian membesar deras tanpa hentinya, bergemuruh dan mengakibatkan banjir bandang menenggelamkan semua yg ada disekitarnya dan membentuk danau. Disaat itu pulalah Joko/ Baru Klinting berubah menjadi ular yg sangat besar, menerima kutukannya kembali dan hidup di dalam danau bekas cabutan lidinya sendiri.
Adapun danau ini sekarang dikenal dengan nama "RAWA PENING".
Sang nenek selamat dan beliau menceritakan hal ini ke semua orang sampai akhir hayatnya.
Tahun2 berlalu cerita ini telah ditelan waktu, menua dan menjadi sebuah legenda.
0 komentar:
↓↓↓ Expresikan Komentar Anda ↓↓↓
Posting Komentar
Maaf kalau mister tidak sempat menjawab/membalas komentar kalian, dikarenakan mister tidak online 24 jam.